Kamis, 11 Desember 2008

Culture Festival of Papua


Pesta Budaya Papua


Merasakan Nikmatnya Ulat Sagu
Tak kenal maka tak sayang, adalah ungkapan paling pas untuk kedua provinsi Indonesia yang paling timur ini. Konotasi apa yang melekat di benak kalian jika mendengar kata Papua? Koteka, Merauke, Sagu, Suku Asmat, Suku Dani, Lembah Baliem, Persipura, atau Freeport? Tetapi percayalah, masih banyak eksotisme Si Mutiara Hitam yang luput dari perhatian kita. Pemerintah daerah Papua mengadakan event tahunan yang bertajuk Pesta Budaya Papua, biasanya jatuh pada bulan Agustus. Tahun ini, festival budaya ini masuk sekuel yang keenam dan dilaksanakan di Taman Budaya Papua, Distrik Waena.
Selain pembukaan resmi, ada ritual unik yang dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu Kakesi. Tradisi ini adalah kegiatan makan pinang bersama-sama sebagai tanda ikatan persaudaraan dan perdamaian. Makan pinang seolah tidak dapat dipisahkan lagi oleh kehidupan mereka. Setiap sudut kota dan pelosok sering kita temukan orang sedang mengulum (atau menjual) buah pinang, sirih, dan kapur. Jangan heran kalau kita sering bertemu dengan penduduk dengan mulut berwarna merah menyala.
Festival ini diisi oleh berbagai macam kegiatan yang berbau kebudayaan asli dari seluruh Papua, baik itu yang tergabung di Provinsi Papua atau Irian Jaya Barat. Mata acara berisi tarian adat, lagu-lagu tradisional, cerita rakyat, makanan khas, benda-benda budaya, dan dialog kebudayaan. Untuk menyemarakkan pesta ini, panitia menggelar perlombaan yang diikuti oleh peserta dalam kategori cerita rakyat, lagu-lagu tradisional, makanan khas daerah, dan tarian adat. Selain itu ada pagelaran yang membawakan cerita rakyat. Tiap-tiap daerah memiliki gaya sendiri dalam menuturkan legenda yang berasal dari daerahnya. Ada yang membaca teks dan penonton terdiam mendengarkan dengan seksama. Suasanya mirip seperti ada pula yang megemasnya dalam sebuah sendratari. Salah satunya yang dilakukan oleh Group Memneta dari Kabupaten Manokwari. Mereka membawakan cerita tentang anak perdamaian. Cerita berawal dari dua buah kelompok yang berseteru. Perseteruan ini terjadi karena kelompok yang satu membunuh suami anggota kelompok yang lain. Konflik pun memuncak dan diselesaikan dengan penyerahan upeti dari pihak yang bersalah. Namun upeti yang berupa harta benda ternyata tidak dapat menggantikan suami yang mati dan kebahagian memiliki seorang anak. Akhirnya, seorang yang dituakan oleh kedua kelompok itu memerintahkan yang bersalah untuk menyerahkan seorang anak kepada yang dirugikan. Alur cerita sederhana itu dibawakan mereka dengan penuh penjiwaan.

Di festival ini, kita dapat memegang dan mencoba beberapa benda budaya. Paling seru adalah mencoba membuat api dengan menggunakan korek api tradisional dari Kabupaten Yapen Waropen. Lighter mereka terdiri dari tiga bagian, bambu atau pandawari, bahan percikan api yang berasal dari tumbuhan yang disebut manyur, dan batu tipis berwarna hitam. Caranya, manyur diletakkan di atas batu lalu kita jepit dengan ibu jari. Kemudian gesekkan batu dengan bambu tadi sampai mengeluarkan percikan api. Bunga-bunga api akan tertangkap oleh manyur, kibas-kibaskan agar bara tetap menyala. Kalau bara api sudah cukup besar, kita dapat menggunakan avon newa atau daun buah merah kering untuk membuat api yang lebih besar. Papua terkenal dengan nyamuk malarianya. Biasanya orang-orang pendatang membawa pil kina sebagai penawar. Tapi, kata siapa obat malaria hanya pil kina? Suku Winijan mengobati malaria dengan Kugawa Waterm seperti yang dipamerkan di stand Yapen Waropen. Obat ini berasal dari tumbuhan dengan nama yang sama. Biasanya kita merebus tumbuhan obat untuk mendapatkan khasiatnya, tetapi obat ini cukup direndam selama beberapa jam. Hebatnya lagi, mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari malaria.

Selain Sagu, Apa Lagi?

Bagaimana sagu diolah, tidak hanya menjadi papeda, tapi menjadi jenis makanan lainnya? Sagu boleh dikatakan makanan pokok orang-orang yang tinggal di kawasan Indonesia Timur, khususnya Maluku dan Papua. Sebelum mengenal nasi, umumnya mereka mengolah sagu menjadi papeda sebagai makanan pokok. Makanan ini bentuk luarnya seperti lem. Lengket, lembek, dan sebaiknya cepat-cepat dimakan saat masih hangat kalau tidak mau mengeluarkan energi ekstra untuk menikmatinya. Papeda sagu yang kita kenal biasanya dikonsumsi dengan masakan yang berkuah, seperti sup ikan atau babi rebus. Bukan tanpa maksud, kehadiran sajian yang mengandung air di sini sebagai pelicin masuknya papeda ke dalam perut kita. Di Nabire, dikenal papeda biji atau koiros. Sepintas penganan ini tampak seperti bubur mutiara atau bubur pacar, hanya saja warnanya coklat dan tidak berbentuk bulatan kecil. Makanan ini terbuat dari tepung sagu yang masih kasar atau tidak diayak. Kalau kita mengenal bubur ayam, mereka mengenal motnaber. Mudahnya kita dapat mengatakan sagu babi. Hidangan ini dibuat dengan menambahkan kaldu dan daging babi rebus yang dipotong kecil-kecil, sedangkan bumbunya hanya menggunakan daun salam dan garam.

Untuk bekal di perjalanan, mereka mengenal montaka atau sagu bola-bola. Fisiknya tergambar jelas dari namanya, bulat-bulat sebesar bola ping-pong atau golf, dan berwarna hitam. Oh ya, jangan pernah memakannya plain tanpa sesuatu yang mengandung air atau Anda akan tersedak dan terbatuk-batuk. Montaka sangat sulit ditelan dalam keadaan kering. Selain sagu, mereka juga mengonsumsi ketela atau singkong, ubi jalar, talas, dan betatas sebagai sumber karbohidrat. Bahkan kasbi (singkong) bisa dibuat papeda juga. Papeda kasbi bentuknya tidak seperti papeda sagu, ia lebih mirip lontong dan berasa jeruk nipis. Lain lagi di Kabupaten Supiori, mereka mengolah buah bakau menjadi nasi aibon. Makanan ini mirip dengan kelapa parut namun berwarna kuning kecoklatan, lembut dan berasa manis. Ternyata buah bakau tidak saja dapat dibuat nasi, mereka juga mengeringkan dan menghaluskan buah bakau untuk dijadikan tepung aibon. Tepung ini kemudian dapat diolah menjadi kue bolu atau puding. Masih ada makanan teman makanan pokok yang sama-sama uniknya. Sayur lilin, walaupun namanya sayur, sebenarnya yang dipakai adalah bagian buah yang berwarna putih dan bentuknya persis seperti lilin rumah yang biasa dipakai penerangan ketika listrik mati. Rasanya sedikit manis dan banyak mengandung air.

Ulat Sagu

Selain ikan dan daging, sumber protein lainnya adalah ulat sagu. Ulat ini hidup di batang sagu yang telah busuk. Mereka dimakan dengan cara dibakar atau dibuat sambal ulat sagu yang pedas dan asam menyegarkan. Tapi menurutnya ulat sagu dapat juga dimakan mentah atau hidup-hidup Ulat sagu hidup ini bentuknya sangat lucu. Badannya gendut berwarna putih, sedangkan kepalanya berwarna coklat tua. Kalau berjalan ia terlihat seperti sedang menari perut.

Apa yang ada di dalam Pesta Budaya ini hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan dari provinsi yang memiliki kekayaan alam terbesar di Indonesia ini. Masih banyak buah-buah kebudayaan yang harus dilestarikan dan diperkenalkan kepada orang-orang yang hidup di luar Papua. Sayang kalau dibiarkan hilang begitu saja
Begitu banyak keragaman budaya yang ditawarkan Papua ini. Membuat kami pengen mempelajari lebih lanjut budaya mereka. Sayangnya kami cuma bisa ngeliat dari koran, TV, atau internet. Kami belum bisa dateng ke sono. Maklum mahasiswa, ngga ada dana hihi.. Kalau ada yang mau kasi wisata gratis ke kita. Yuk marilah kemari.. Mumpung habis gini liburan haha..

2 komentar:

Stop_Gaptek mengatakan...

wah wah wah.. goog good good....
akhirnya bukan saja hanya dirikuw yang menuliskan tentang papua.

keren-keren, Mau kuajak makan ulat sagu gak? enak lho... Hehehe.... Good job^^

Danie Cung Cung mengatakan...

haha.. kalo kamu nulis budaya timur indo, aku nulis budaya barat indooo.. hahaha..

emang indonesia kaya yaa.. wakakakaka..